“Tiga hari sudah saya demam. Awalnya seperti masuk angin, mungkin karena kecapekan,”
Pikir saya pada awalnya, sebab, sejak daftar jadi calon WABUP, kegiatan full. Sehari tidur hanya sekitar 4 jam, 2 minggu full berkegiatan.
Walau tidak enak badan, karena hal penting dan rasa tanggung jawab atas peran kehidupan, perjalanan ke Samarinda PP, tetap dijalankan. Sudah bisa di tebak, badan makin nge-drop.
Tengah malam itu, melihat saya demam, sepanjang perjalanan, driver langsung mengantarkan saya ke UGD. Keputusan yang, sangat tepat.
Di RS Medika, saya di rawat sekitar 7 hari. Ditangani oleh 2 spesialis. Spesialis Internis dari awal hingga akhir, Spesialis Paru sejak hari ketiga. Internis yang menangani, mulai curiga. Dengan demam tinggi, namun sel darah putih malah turun, itu menunjukkan bukan bakteri. Bisa jadi virus, tapi virus apa?
Covid kah? Tapi Rapid testnya negatif. Saat di infus, di UGD sampel darah diambil. Diperiksa darahnya, untuk beberapa pemeriksaan, termasuk Rapid test antibodi Covid-19.
Walau hasilnya, negatif, Spesialis Internis, tetap merujuk ke Spesialis Paru. Saya bisa memahami, tes Rapid antibodi memang tidak seakurat Swap Test (PCR). Saat itu belum populer pemeriksaan antigen.
Antibodi adalah salah satu pasukan sistem pertahanan (imun). Seperti negara, ada tentara, polisi, hansip, petugas karantina, dll., tubuh manusia juga, punya sistem pertahanan. Ada sistem pertahanan umum, responnya biasanya sangat cepat, dalam hitungan jam.
Sedangkan, Antibodi adalah sistem pertahanan khusus. Terhadap virus tertentu, otomatis baru timbul setelah ada serangan. Setelah radar pasukan yang lagi piket (Sel B dan sel T) mendeteksi adanya pasukan penyusup (Antigen). Antibodi responnya agak lambat, timbul setelah beberapa hari.
Beda dengan Antigen. Antigen adalah bagian tertentu dari musuh (Virus, jamur dll). Secara teori, antigen (pasukan musuh) dulu muncul. Radar tubuh mendeteksi, lalu timbulah antibodi (pasukan kita).
Maka, tak heran, bila pemerintah sekarang. Lebih memilih pemeriksaan Rapid Antigen, daripada Rapid antibodi. Antibodi negatif, belum tentu, seseorang tidak ada virus. Karena antibodi bisa jadi muncul 5 – 7 hari setelah virus menginfeksi. Sedangkan antigen, bisa di deteksi, saat virus ada di tubuh.
Hari ketiga, saya mulai d tangani dengan spesialis paru. Diperiksakan X-Ray dada, hasilnya bagus. Masih bersih paru-paru nya, belum ada gejala Covid.
Saat hari ketiga itulah, saya minta dilepas infus. Izin / cuti keluar rumah sakit untuk ke kantor KPU, pengundian nomor urut Paslon. Andai tidak wajib, mungkin saya tidak hadir. Dengan kepala pusing, dan demam tinggi, sekitar 38 – 39 derajat, saya mengikuti acara di KPU. Setelah selesai, bergegas saya balik lagi ke RS, infus dipasang lagi.
Hari kelima, keluhan tidak berkurang. Pusing, diare, dan demam tinggi. Dokter masih penasaran, untuk memastikan, saya diSwap PCR. Petugas dari Dinkes dengan seragam komplit, mengambil sampel Swap.
Hari keenam. Hasil Swap keluar. Dini hari, sekitar jam 2 malam, Kepala Dinas Kesehatan, SMS saya. Hasilnya, negatif. Saya lega, tapi bingung. Leganya, bukan terkena Covid, karena bila terkena Covid, otomatis saya tidak bisa bersosialisasi terkait Pilkada. Saya sadar, saya sudah telat mendaftar. Maka, bila terkena Covid, makin telat lagi untuk pergerakan ke masyarakat. Bingung, karena penasaran, saya sakit apa?
Hari ketujuh, pagi. Saya mulai terasa sesak. Saturasi oksigen mulai menurun. Pemeriksaan X-Ray dilakukan lagi. Sekitar satu jam, setelah pemeriksaan, Spesialis Paru memastikan bahwa saya kena Covid. Bercak X-Ray di paru, sangat jelas. Gambaran pneumonia (radang paru paru), di kedua sisi, hampir 3/4 paru.
Mendengar itu, saya lega dan bingung lagi. Lega, karena diagnosa penyakit sudah jelas, yaitu Covid-19. Bingung, karena baru sehari dapat kabar pemeriksaan Swap PCR, hasilnya kemarin negatif. Tapi sekarang, nyatanya, dampak di paru-paru nyata. X-Ray nyata terlihat mata. Dan sesak di dada, nyata di rasakan.
Maka, sesuai prosedur saya di pindah ke RSUD. Saya antri, dan ditempatkan di lorong UGD sekitar 3 jam. Sebab, kamar khusus Covid full.
Hari kedua di RSUD, atau hari kedelapan diopname, saya di swap lagi. Dengan hasil sebaliknya, POSITIF.
Secara teori, Swap PCR adalah yang paling akurat. Akurasi sekitar 98%. Mungkin, saat periksa pertama Swap PCR, saya adalah golongan 2% nya.
Rapit hari pertama negatif,
X-Ray hari ketiga bersih,
Swap PCR hari kelima negatif,
X-ray hari ketujuh bercak pneumonia nyata,
Swap hari kedelapan jadi Positif.
Maka, hemat saya, orang dalam perjalanan yang membawa surat negatif. Pemeriksaan dengan metode, apapun itu. Rapid Antibodi, Rapid Antigen, atau Swap PCR. Belum tentu benar-benar belum ada virus dalam tubuhnya.
Kewaspadaan, harus tetap ada. Dengan disiplin, pakai masker, jaga jarak dan rajin cuci tangan.
Ditulis oleh : Uce Prasetyo (Praktisi Kesehatan, Politikus PPP, CAWABUP KUTIM 2021-2024)
Disunting oleh : bollem (red.)