SANGATTAKU – Kontroversi seputar isu penjualan buku paket pelajaran oleh salah satu sekolah di Sangatta, Kutai Timur (Kutim), mendapat tanggapan dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutim, Mulyono.
Pembelian buku paket pelajaran ini telah menjadi perhatian dan keresahan masyarakat, khususnya orang tua para murid, karena persepsi mereka adalah bahwa buku pembelajaran telah diberikan secara gratis oleh pemerintah daerah. Mulyono mengakui bahwa pihaknya telah membahas isu ini dengan kepala-kepala sekolah yang ada di Kutim.
Hasil dari diskusi ini menunjukkan bahwa ada sekolah-sekolah yang menawarkan buku pelajaran dengan bantuan komite-komite sekolah. Namun, Mulyono menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan saat ini ada dua jenis buku, yaitu buku wajib dan buku pendamping. Buku wajib disediakan oleh pemerintah, sedangkan buku pendamping tidak diwajibkan dan tidak disediakan oleh pemerintah.
“Jadi, yang ditawarkan oleh sekolah adalah buku pendamping,” ungkap Mulyono dalam salah satu kesempatan wawancara.
Meskipun begitu, pembelian buku pendamping sebenarnya tidak diwajibkan karena seluruh materi pembelajaran sudah tercakup dalam buku wajib. “Isinya hampir sama, hanya buku pendamping lebih rinci dan lengkap. Sementara buku wajib memberikan gambaran umum,” kata Mulyono.
Mulyono menegaskan kepada seluruh Kepala Sekolah agar menghindari kesan bahwa sekolah menjual buku. Jika ada orang tua atau siswa yang ingin membeli buku pendamping, mereka dapat melakukannya di luar sekolah. “Intinya, buku pendamping memang tidak disediakan oleh pemerintah dan itu bersifat opsional. Jika ada yang ingin membeli, mereka boleh melakukannya, tetapi kami tidak menyediakannya dan tidak menjualnya,” tambahnya.
Selain itu, Mulyono menambahkan bahwa buku yang disediakan oleh pemerintah dan buku pendamping hampir sama, namun buku pendamping lebih detail. Hal ini bisa menjadi hasil kreasi dari penerbit buku. “Secara umum, buku wajib sudah mencukupi untuk anak-anak sekolah, tetapi terkadang orang lebih suka menggunakan buku pendamping untuk pekerjaan rumah atau tugas lainnya,” kata Mulyono.
Mulyono menekankan bahwa pembelian buku pendamping ini bersifat opsional. Namun, jika sekolah mewajibkan pembelian buku ini, maka hal tersebut dapat menjadi masalah tersendiri. Dalam situasi seperti itu, penting bagi pihak sekolah untuk menjelaskan secara transparan kepada orang tua dan siswa mengenai alasan di balik kebijakan tersebut. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami dan merasa yakin bahwa pembelian buku pendamping adalah pilihan mereka sendiri. (ADV01/Diskominfo Staper)