SANGATTAKU – Ketua DPRD Kabupaten Kutai Timur, Jimmi, menegaskan bahwa dari 16 poin efisiensi anggaran yang tertuang dalam edaran pemerintah dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tidak ada satu pun yang menyebutkan pengurangan anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Pernyataan ini disampaikannya menanggapi aksi unjuk rasa sekitar 50 mahasiswa yang menyuarakan kekhawatiran terhadap kebijakan efisiensi anggaran di dua sektor tersebut pada Kamis, 27 Februari 2025, di depan Gedung DPRD Kutai Timur, Perkantoran Bukit Pelangi.
“Yang paling penting itu komunikatif dan aspiratif. Kita sepakat bahwa tujuan pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan masa depan kita semua, terutama generasi muda. Masa depan ini kita tentukan mulai hari ini,” ujar Jimmi.

Jimmi menjelaskan bahwa efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah memang mencakup berbagai sektor, namun tidak menyentuh pendidikan dan kesehatan. Beberapa poin efisiensi yang diterapkan antara lain pengurangan anggaran alat tulis kantor sebesar 90% dengan peralihan ke penggunaan alat digital, efisiensi kegiatan seremoni sebesar 56,9% serta pengurangan anggaran untuk rapat, seminar dan sejenisnya sebesar 45%.
Selain itu, efisiensi juga diterapkan pada kajian dan analisis sebesar 51,5%, diklat dan bimbingan teknis 29%, honor output kegiatan dan jasa profesi 40% serta percetakan dan suvenir sebesar 75,9%. Penghematan lainnya mencakup sewa gedung, kendaraan dan peralatan sebesar 73,3%, lisensi aplikasi 21,6%, jasa konsultan 45,7%, bantuan pemerintah 16,7%, pemeliharaan dan perawatan 10,2%, perjalanan dinas 53,9%, peralatan dan mesin 28% serta infrastruktur 34,3%. Adapun belanja lainnya mengalami efisiensi sebesar 59,1%.
Jimmi juga menegaskan bahwa sejak diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1, DPRD Kutai Timur telah menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan efisiensi yang dianggap dapat membatasi kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan visi dan misi yang telah disusun sesuai mandat dari masyarakat.
“Pemerintah daerah, bupati dan wakilnya sudah dipilih oleh rakyat berdasarkan visi-misi tersebut. Kalau efisiensi ini mengganggu visi-misi tersebut, tentu hal ini bertentangan dengan regulasi yang sudah kita sepakati bersama melalui pemilu dan sebagainya. Kita sepakat itu, ya. Jadi kita nanti sama-sama mengontrol. Saya sepakat bahwa kita tidak menyetujui efisiensi itu karena daerah kita kaya, kita perlu biaya besar untuk membangun daerah kita,” imbuhnya.

Selain itu, Jimmi menyoroti persoalan pendanaan pendidikan di Kutai Timur, terutama terkait hibah untuk perguruan tinggi. Ia mengakui bahwa dana hibah yang diberikan pemerintah daerah masih belum mencukupi, mengingat hibah hanya dapat diberikan satu kali dalam dua tahun, sehingga banyak kebutuhan pendidikan yang belum terpenuhi.
Sebagai solusi, DPRD mengusulkan agar pemerintah daerah memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kutai Timur.
“Kita berharap pemerintahan ini sejalan, ya. Antara forum CSR dengan pemerintah. Kalau kemarin-kemarin dari hasil evaluasi, tinggal kita simpulkan apakah CSR itu sudah sejalan atau belum dengan kebijakan pemerintah,” jelas Jimmi.
Terkait infrastruktur, Jimmi menegaskan bahwa pembangunan strategis harus dilakukan dengan kualitas yang baik dan sesuai standar. Ia menjelaskan bahwa pengawasan terhadap pembangunan infrastruktur telah dilakukan secara berjenjang, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dengan pengawasan oleh konsultan hingga pemeriksaan oleh inspektorat daerah setelah proyek selesai. Selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga turut mengawasi agar proyek berjalan sesuai ketentuan.
Ia menambahkan bahwa setiap pelanggaran dalam pengerjaan infrastruktur akan dikenakan sanksi, baik dalam bentuk pengembalian dana maupun denda. Jimmi memastikan bahwa mekanisme ini sudah diterapkan sejak beberapa periode pemerintahan sebelumnya, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terhadap kualitas pembangunan yang dilakukan di daerah. (*/MMP)