SANGATTAKU – Mengingat inflasi sebagai salah satu indikator utama dalam menjaga kesejahteraan ekonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menyelenggarakan High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dengan tajuk “Memperkuat Program Kerja Pusat dan Daerah Tahun 2025–2027”, yang digelar di Ruang Meranti, Kantor Bupati Kutai Timur, pada Selasa, 3 Juni 2025.

Dalam sambutannya, Wakil Bupati Kutai Timur, Mahyunadi, menjelaskan bahwa topik inflasi bukan hanya merupakan persoalan ekonomi teknis, melainkan sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam hal daya beli dan akses terhadap kebutuhan pokok.
Ia juga mengatakan bahwa sebagai daerah yang berbasis pada sektor pertanian, perkebunan dan perdagangan, stabilitas harga kebutuhan pokok di Kutai Timur sangat menentukan kualitas hidup masyarakat. Menurutnya, inflasi yang terkendali akan memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga dan berkontribusi langsung pada pengurangan angka kemiskinan.
Untuk itu, Mahyunadi menekankan pentingnya perhatian terhadap isu bersama, yakni keterjangkauan harga. Pemerintah daerah, katanya, harus terus mengawal kestabilan harga komoditas dengan melakukan evaluasi kebijakan agar tetap relevan serta adaptif, baik dari sisi ketersediaan pasokan maupun kelancaran distribusi.
“Jadi bukan hanya masalah harga yang terkendali. Tapi masalah pasokan yang tersedia. Karena data Bu Piter tadi, kelancaran operasi distribusi juga menjadi bagian daripada 4K yang disebutkan tadi. Nah, oleh karena itulah kita bertugas untuk bisa menyelesaikan 4K dengan kunci terakhir yaitu komunikasi yang efektif yang harus kita lakukan bersama,” ujarnya.

Mahyunadi juga menyampaikan bahwa pemerintah daerah akan melakukan operasi pasar guna menjamin ketersediaan dan kestabilan harga menjelang Iduladha mendatang.
“Kalau pasar tidak stabil ya mau tidak mau tetap penyaluran cadangan pemerintah untuk intervensi terhadap harga pasar,” ungkapnya.
Dalam hal ini, menurutnya, yang tak kalah penting adalah memotong rantai pasokan yang terlalu panjang atau dominasi tengkulak yang menyebabkan harga di tingkat produsen rendah, namun tinggi di tingkat konsumen.
“Kalau pun tinggi enggak apa-apa, kalau tinggi dari pedagang, dari produsennya. Jangan tinggi dari tengkulaknya. Tengkulak dengan harga yang normal 30%, 40% ya masuk akal lah. Kalau tengkulak sudah sampai ke 100% dari harga produksi, itu sudah tidak masuk akal,” pungkas Mahyunadi. (MMP)