SANGATTAKU – Kebijakan Pemerintah Kecamatan Sangatta Utara untuk merelokasi pedagang dari kawasan Taman Bersemi (Taman STQ) demi mengembalikan fungsinya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) menimbulkan reaksi beragam dari pelaku usaha mikro. Sejumlah pedagang menyampaikan keresahan karena khawatir kehilangan sumber penghidupan. Menindaklanjuti keluhan tersebut, DPRD Kutai Timur menggelar hearing dan audiensi pada Senin, 16 Juni 2025, yang melibatkan sejumlah instansi terkait dan pemangku kepentingan.

Sementara itu, Camat Sangatta Utara, Hasdiah Dohi, menjelaskan bahwa relokasi perlu dilakukan karena banyaknya pelanggaran yang ditemukan di kawasan STQ, termasuk praktik jual beli dan sewa-menyewa lapak.
“Itu loh milik pemerintah, kok disewakan ke orang lain, di pihak ketigakan. Hasilnya memangnya ke Pemda? Tidak. Ke orang pribadi,” jelas Hasdiah.
Ia menegaskan bahwa penataan kawasan dilakukan agar sesuai dengan Peraturan Daerah, termasuk dalam hal tata kelola, mekanisme kerja sama, serta hak dan kewajiban pedagang secara administratif.
Konsep pembangunan yang dirancang adalah kawasan Ruang Terbuka Hijau multifungsi, yang tetap memberi ruang bagi pelapak secara tertib di area luar, dengan tambahan fasilitas umum dan olahraga untuk mendukung aktivitas ekonomi.
“Kenapa konsepnya itu kita padukan dengan lapangan olahraga, fasilitas umum yang lain? Karena untuk meramaikan pelapak-pelapak yang ada. Coba lihat sekarang, tidak ada aktivitas di dalam, siapa yang mau ngunjung?” ujarnya.
Ia juga mengatakan bahwa integrasi ruang olahraga dalam konsep RTH bertujuan untuk menarik lebih banyak pengunjung. Aktivitas seperti jogging atau bermain sepak bola diharapkan dapat mendorong orang untuk sekaligus berbelanja di lapak yang tersedia, meskipun bukan sebagai tujuan utama kunjungan. Hal ini dinilai bisa meningkatkan keramaian dan mendukung perputaran ekonomi pelaku UMKM di kawasan tersebut.
Sementara itu, Ketua Forum STQ, Andi Ibrahim, menyampaikan bahwa para pedagang pada dasarnya tidak menolak rencana pembangunan. Namun, mereka meminta waktu dan ruang agar 56 dari 148 lapak tersebut tetap diizinkan berjualan sampai anggaran relokasi tersedia.
“Jadi pemerintah jalan, dia juga jalan. Tidak ada saling menyakiti,” ujarnya.

Ketua DPRD Kutai Timur, Jimmi, menyatakan bahwa DPRD akan berupaya mencari solusi terbaik yang seimbang antara program pemerintah dan kelangsungan usaha mikro masyarakat.
“Pemerintah juga harus melihat ini sebagai sumber penghidupan warga kecil. Makanya kita dorong adanya win-win solution, supaya pembangunan jalan, pelapak juga tidak kehilangan mata pencaharian,” kata Jimmi.
Ia mengungkapkan, hasil hearing menyepakati untuk membahas lebih lanjut dengan instansi terkait agar toleransi dalam bentuk penundaan relokasi hingga satu tahun dapat diberikan. Waktu tersebut dimaksudkan agar pelapak bisa mempersiapkan diri, sementara pemerintah tetap menjalankan rencana penataan.
“Pemerintah sudah merencanakan sekitar 200 lapak baru, sementara yang bermasalah saat ini kan cuma 60-an. Ya, mudah-mudahan semangat untuk tetap membangun perekonomian dari skala kecil mikro itu bisa menjadi lebih baik lagi ke depan,” pungkasnya. (MMP)