SANGATTAKU – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur menggelar Rapat Paripurna ke-27 dan 28 Masa Persidangan ke-2 Tahun Sidang 2024-2025 pada Kamis, 27 Februari 2025. Rapat ini dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Kutai Timur, Jimmi, didampingi Wakil Ketua I, Sayid Anjas, serta Wakil Ketua II, Prayunita Utami.
Turut hadir dalam rapat tersebut Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Poniso Suryo Renggono, yang mewakili Bupati Kutai Timur, serta perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Rapat ini membahas persetujuan bersama antara Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan DPRD terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Inisiatif DPRD mengenai Pedoman Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) di daerah.
Dalam sambutannya, Ketua DPRD Kutai Timur, Jimmi, menegaskan bahwa regulasi ini penting sebagai dasar kebijakan perlindungan masyarakat serta upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS dan IMS.
“Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan, melalui peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penularan, pengobatan, serta perlindungan hak individu yang terdampak,” ujarnya.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda, dr Novel Tyty Paembonan, melaporkan bahwa tim telah bekerja sejak pembentukan Pansus dengan melibatkan berbagai pihak, seperti Dinas Kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah, Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia serta Kelompok Dukungan Sebaya KPC.
Selain itu, pada 23 dan 26 Juni 2024, tim Pansus juga melakukan rapat koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Novel menjelaskan bahwa Bali dipilih sebagai lokasi studi banding karena dianggap berhasil dalam penanganan HIV/AIDS.
“Provinsi Bali merupakan salah satu daerah yang berhasil dalam penanganan HIV/AIDS. Berdasarkan studi banding, ada beberapa poin penting yang bisa diterapkan di Kutai Timur,” jelasnya.
Dari hasil studi banding tersebut, ditemukan beberapa poin penting dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Salah satunya adalah keterlibatan seluruh unsur, termasuk pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli HIV serta komunitas terkait, agar langkah-langkah pencegahan dan penanganan dapat berjalan lebih efektif.
Selain itu, LSM yang terlibat dalam program ini harus memiliki Memorandum of Understanding (MoU) dengan Dinas Kesehatan, puskesmas atau rumah sakit untuk memastikan koordinasi yang lebih baik dalam menangani kasus HIV/AIDS. Dari segi pendanaan, upaya penanggulangan HIV/AIDS dapat dibiayai melalui berbagai sumber, termasuk perbankan dan Global Fund, guna memastikan keberlanjutan program yang dijalankan.
“Sementara itu, dalam hal implementasi, peraturan daerah yang akan disahkan nantinya harus mencakup area-area yang berisiko tinggi terhadap penyebaran HIV/AIDS, seperti lokalisasi dan Tempat Hiburan Malam (THM), sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan secara lebih maksimal,” imbuh Novel.
Selain melakukan studi banding, tim Pansus juga berkoordinasi dengan Bagian Hukum Provinsi Kalimantan Timur untuk melakukan fasilitasi. Dalam proses ini, beberapa penyesuaian redaksional dilakukan agar Raperda selaras dengan peraturan yang lebih tinggi, termasuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2022 tentang Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS.
Setelah melalui serangkaian pembahasan dan kajian hukum, Raperda ini akan dilanjutkan ke tahap evaluasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebelum disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Diharapkan pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan berbagai pihak dalam implementasi Perda ini.
“Kiranya peraturan daerah ini bisa menjadi landasan hukum yang fungsional bagi pemerintahan daerah untuk melindungi segenap warganya demi kesehatan masyarakat Kutai Timur, menuju Kutai Timur Hebat Indonesia Emas,” pungkasnya. (*/MMP)