
SANGATTAKU – Asisten III Administrasi Umum Sekretariat Kabupaten Kutai Timur, Sudirman Latif, menilai inovasi Cap Jempol Stop Stunting yang dipresentasikan dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II sebagai langkah strategis yang menempatkan kolaborasi sebagai fondasi utama penanganan stunting di Kutai Timur. Pernyataan itu ia sampaikan seusai mendampingi reformer sekaligus Kepala DPPKB Kutim, Achmad Junaidi, yang mengusung tema Cap Jempol Stop Stunting dalam presentasi proyek perubahan di Puslatbang KDOD LAN RI Samarinda.

Sudirman menyatakan apresiasi terhadap pendekatan yang diusung Achmad Junaidi, terutama karena mengedepankan kepemimpinan kolaboratif dalam menyelesaikan persoalan stunting.
“Saya selaku mentor sangat mengapresiasi apa yang sudah dijagas oleh reformer. Topik pola kepemimpinan kolaboratif ini betul-betul strategis, bagaimana merangkul seluruh stakeholder untuk berkolaborasi menyelesaikan permasalahan,” ujarnya.
Menurutnya, kekuatan pendekatan tersebut terletak pada pemilihan sasaran yang tidak berhenti pada angka stunting secara umum, tetapi menukik pada keluarga berisiko.
“Sasarannya keluarga berisiko stunting. Kita tidak menukik hanya pada permasalahan stuntingnya, tapi menukik kepada keluarga yang berisiko,” tegasnya.
Sudirman menjelaskan bahwa indikator keluarga berisiko sangat luas dan melibatkan berbagai aspek mendasar kehidupan masyarakat, seperti sanitasi, akses jamban, hingga pencegahan kesehatan. Ia menilai fokus pada akar masalah tersebut justru menjadi kunci percepatan penanganan.
“Dengan sasaran penuntasan keluarga berisiko, otomatis ini akan mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
“Objeknya jelas, apa yang akan dilakukan, program apa, datanya ada terkait dengan apa yang diangkat oleh saudara Achmad Junaidi,” tambahnya.

Penekanan mentor terhadap kolaborasi tersebut sejalan dengan pemaparan Kepala DPPKB Kutai Timur yang menggarisbawahi pentingnya komitmen seluruh pemangku kepentingan. Menurut Achmad Junaidi, keberhasilan inovasi stunting memerlukan peran aktif OPD sesuai tugas masing-masing.
“Harus ada komitmen bersama sesuai fokus masing-masing. Semua pihak punya peran,” kata Junaidi.
Ia menjelaskan bagaimana peran Perkim, Dinas PU, PDAM, Baznas, hingga Dinas Kesehatan akan menentukan keberhasilan intervensi.
“Kalau semua bekerja sesuai fungsi dan anggarannya, tidak ada persoalan berat. Penurunan stunting bisa cukup tinggi,” ujarnya.
Sudirman menilai bahwa pendekatan inovatif semacam ini hanya akan memberi dampak bila diikuti oleh kerja terukur di lapangan. Ia menegaskan bahwa koordinasi antar-sektor bukan hanya sekadar jargon, tetapi harus diterjemahkan ke dalam tindakan konkrit yang menyasar keluarga berisiko.
Menurutnya, strategi yang dipaparkan Junaidi sudah menunjukkan arah yang tepat, terutama karena berbasis data dan mengandalkan dukungan lintas organisasi perangkat daerah.

Di sisi lain, Junaidi turut menyampaikan perkembangan terbaru penanganan stunting di Kutai Timur yang kini berada di peringkat 7 nasional dengan angka 20,26 persen. “Kemarin kita peringkat 10, sekarang peringkat 7. Ini menunjukkan progress melalui program stop stunting,” kata Junaidi.
Sudirman menegaskan bahwa pola kepemimpinan kolaboratif perlu terus diperkuat sebagai standar kerja lintas sektor. Ia meyakini bahwa dengan sasaran yang tepat dan pemetaan keluarga berisiko yang akurat, Kutai Timur dapat mempercepat penurunan kasus stunting baru.
Ia menilai inovasi ini tidak hanya relevan dalam konteks PKN, tetapi juga mampu menjadi rujukan bagi model penanganan stunting yang lebih komprehensif.
Dengan dukungan pemerintah, sinergi perangkat daerah, serta pendekatan berbasis keluarga berisiko, proyek Cap Jempol Stop Stunting diharapkan mampu memperkuat fondasi kesehatan keluarga dan mempercepat penurunan stunting di Kutai Timur secara berkelanjutan. (adv/Diskominfo)




















