
SANGATTAKU – Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kutai Timur, Muhammad Basuni, menegaskan bahwa efektivitas program harus menjadi tolok ukur utama dalam pembangunan desa, bukan semata-mata persentase serapan anggaran. Ia menilai audit kinerja perlu diperkuat untuk memastikan setiap rupiah anggaran desa memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
“Selama ini kita sering fokus pada berapa besar realisasi anggaran. Padahal yang utama itu kinerja. Kalau dengan anggaran Rp1.000 sudah tercapai, kenapa harus memakai Rp2.000?” ujar Basuni, Jumat (14/11/25).

Ia menjelaskan, desa-desa di Kutai Timur saat ini menerima anggaran cukup besar dari berbagai sumber, seperti Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), dana bagi hasil pajak dan retribusi, transfer daerah, hingga pendapatan asli desa (PAD). Namun, tingginya alokasi tersebut juga diikuti dengan tingginya sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA).
Basuni mengungkapkan, potensi PAD sangat bergantung pada kreativitas desa dalam memanfaatkan aset dan mengembangkan unit usaha. Beberapa desa dinilai berhasil memaksimalkan pendapatan melalui pengelolaan tanah kas desa, seperti perkebunan sawit, penyewaan gedung, maupun usaha melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Pendapatan desa itu sangat bergantung pada kreativitas pengelolanya. Ada desa yang PAD-nya bagus karena punya tanah kas sawit, ada juga yang kuat dari usaha BUMDes,” terangnya.
Terkait masih banyaknya desa terpencil yang menghadapi persoalan infrastruktur dasar, Basuni mengingatkan bahwa tidak semua pembangunan dapat dibiayai menggunakan anggaran desa. Misalnya, pembangunan jalan kabupaten dan provinsi, tidak boleh diintervensi pemerintah desa.
“Kalau jalan itu statusnya jalan kabupaten, desa tidak bisa intervensi. Begitu juga jalan provinsi. Yang bisa dibiayai desa hanya jalan lingkungan,” jelasnya.
Ia menilai, perbaikan sistem Musrenbang diperlukan agar batas kewenangan pendanaan semakin jelas, baik yang menjadi tanggung jawab desa, pemerintah daerah, maupun CSR.
Basuni juga menyoroti lemahnya perencanaan berbasis data di tingkat desa. Menurutnya, pengumpulan dan pengolahan data harus ditingkatkan agar program yang disusun tepat sasaran dan selaras dengan visi misi kepala daerah.
Ke depan, kinerja desa akan terintegrasi dalam Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD-S) sehingga dapat diakui sebagai bagian dari kinerja pemerintah daerah. Integrasi ini dinilai penting mengingat sebagian anggaran desa, seperti ADD sebesar 10 persen, bersumber dari APBD.
Mengenai inovasi, Basuni menegaskan bahwa DPMD lebih memprioritaskan program yang menjadi mandat regulasi, seperti pendataan tanah, pembinaan koperasi desa, hingga peningkatan layanan publik. Tidak semua inovasi harus dijalankan apabila tidak memberi dampak signifikan.
“Kalau inovasi tidak efektif dan hanya menghabiskan anggaran besar, menurut saya tidak perlu. Digitalisasi layanan publik misalnya, itu baik, tapi harus melihat kesiapan masyarakat,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa efektivitas menjadi ukuran utama dalam menentukan program dan inovasi, bukan sekadar banyaknya kegiatan yang dilaksanakan. (adv/Diskominfo Kutim)




















