Kaidah Jurnalistik, Etika dan Hukum, Sudahkah Berbanding Lurus?

Selasa, 23 November 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kaidah Jurnalistik vs. UU ITE

Laju jaman memang tak bisa terelakkan. Memasuki , kemudahaan menyampaikan dan mendapat informasi pun meningkat. Hampir setiap individu kini mampu menyampaikan pendapat kepada khalayak luas, tidak terbatas.

Tentu saja selain berdampak positif, juga teriring dampak negatif yang sama besarnya. Kebebasan berpendapat, menjadi keblabasan. Penyebaran informasi tanpa validasi, agitasi dan ujaran kebencian merebak. Oknum-oknum tanpa tanggung jawab merasa merdeka, menyebarkan provokasi dan menganggap diri takkan tersentuh di jagat maya.

Hal tersebut, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan regulasi guna membatasi dan mengendalikan kebebasan agar tetap berjalan sesuai marka undang-undang. Rencana undang-undang ITE pun digarap, dan disetujui serta disahkan pada 21 April 2008, yang mana menjadi cyber law pertama di Indonesia.

Laju digital tak kenal surut, UU ITE tahun 2008 pun dirasa perlu mendapat sentuhan ulang. Sebab itu pada tahun 2016, UU ITE mendapat revisi yang kemudian disahkan dan diteken oleh Presiden , dan kemudian diundangkan pada tanggal 25 November 2016.

Meski mendapat pembaruan, beberapa pasal dalam UU ITE dianggap masih menjadi pasal karet yang acapkali digunakan untuk mengkriminaliasi lawan main. Bahkan pasal 27 ayat (3) yang mengatur hak dalam pendistribusian informasi pun, kini kerap menjadi batu sandungan para jurnalis dalam menyampaikan kebenaran melalui karya jurnalistiknya yang dimuat secara online pada siber.

Muhammad Asrul yang merupakan jurnalis media online Berita. ditangkap dan ditahan Polda Sulsel atas sebuah laporan pemberitaan terkait kasus-kasus di kota Palopo, Sulawesi Selatan ( 30/01/2020). (foto: Istimewa)

Banyak jurnalis yang sudah terjerembab ke ranah pidana, hanya karena ketidaksenangan pemangku kepentingan atas muatan karya mereka. Berbekal pasal 27 ayat (3) yang mencakup perihal pencemaran nama baik, jurnalis pun terpaksa digelandang ke penjara, meski Pedoman Media Siber yang dibentuk, dan Kode Etik Jurnalistik, telah sepenuhnya dijalankan.

Baca Juga  Merajut Kembali Tenun Kebangsaan Melalui Pesan Budaya

Sepanjang tahun 2020, menurut LBH Pers setidaknya ada 10 kasus kriminalisasi jurnalis, dan dua orang diantaranya, berakhir di penjara. Entah lemah atau memang keterbatasan wewenang, kasus kriminaliasi jurnalis juga nampak terkesan tak mendapat perhatian khusus dari Dewan Pers. Meski aturan main telah dicatat dan diundangkan sejak 1999, kemerdekaan pers saat ini seperti hanyalah isapan jempol belaka.

Kurang cakapnya aparat dalam menelaah laporan terkait pemberitaan, menurut saya pribadi juga menjadi salah satu faktor mudahnya para jurnalis, dipaksa check in ke hotel prodeo oleh para pemilik kepentingan. Padahal jelas, pers dilindungi secara konstitusional oleh UUD 45 pasal 28F, ditambah dengan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Meski berbagai pihak berkilah, UU ITE dibuat bukan untuk membungkam pers, namun dewasa ini, kenyataan di lapangan berkata lain. Penerapan pasal yang terkesan tanpa kajian, membuat ruang gerak pers di tengah dilema, antara menjaga profesionalisme jurnalistik dan masuk penjara, atau berubah haluan menjadi media seremonial saja.

Mari kita amati, pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Bukankah jelas tertulis? Mari kita kutip dan tulis ulang dengan huruf kapital serta dipertebal agar lebih jelas, BARANG SIAPA DENGAN SENGAJA DAN TANPA HAK. Lantas, siapa yang berhak? Bukankah adalah sebuah kegiatan menggali dan mendistribusikan informasi, yang kewajiban dan haknya telah diatur oleh undang-undang? Bukankan jurnalis, adalah profesi yang hak dan kewajibannya juga diatur undang-undang? Selama muatan karya jurnalistik memenuhi unsur dan telah tersesuai Kode Etik Jurnalistik, diterbitkan dengan data dan narasumber yang dapat dipertanggungjawabkan, dan tersesuai dengan Pedoman Media Siber, layakkah aduan pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap mereka diterima kabulkan?

Baca Juga  Mengenal Struktur dan Peran Banmus DPRD Kutai Timur Periode 2024-2029

Disinilah perlunya peran Dewan Pers. Jika memang keterbatasan wewenang yang menjadikan kesan acuh tak acuh terhadap kasus kriminalisasi jurnalis, seyogyanya Dewan Pers bisa merumuskan hal lain. Semisal saja dengan lembaga penegak hukum, atau sekedar mensosialisasikan kaidah-kaidah jurnalistik terhadap lembaga aparat penegak hukum, atau bahkan membentuk satu divisi di masing-masing lembaga aparat yang bertugas khusus menelaah laporan terkait pemberitaan siber.

Tentu hal tersebut saya yakini, bisa membuka sudut pandang para penegak hukum di negara kita tercinta ini akan kaidah jurnalistik, sehingga tidak serta merta menerima, mengabulkan laporan dan langsung melakukan panggilan terhadap jurnalis terlapor.

Aksi protes sejumlah wartawan dari berbagai media di Bumi Arung Palakka, sebagai bentuk protes terhadap aparat Kepolisian, terkait kasus pengkapan Asrul, Bundaran Tugu Jam, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (08/02/2020). (foto: Istimewa)

Dan banyak kasus, jurnalis yang kemudian terbebaskan, bukan karena menang secara hukum, melainkan karena tekanan publik, perjuangan rekan seprofesi yang pantang menyerah menyuarakan hak kebenaran.

“Jika karya jurnalistik sudah sesuai KEJ, Pedoman Media Siber, serta tidak melanggar koridor undang- undang berlaku, jurnalis masih bisa terlaporkan dengan dasar pasal 27 ayat (3) UU ITE, maka hapus saja UU No 40 Tahun 1999 dan bubarkan saja Dewan Pers, serta ucapkan selamat tinggal pada kebebasan pers.” ~ Yudhie Y.A.V

 

Disclaimer : Artikel ini ditulis oleh Yudhie Y.A.V sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Uji Wartawan Tingkat Muda yang diselenggarakan (AJKT) (13-14 November 2021) dengan PT Aksara sebagai Lembaga Uji serta MZK Institute sebagai pemateri dan pembimbing pra UKW.

2.9kDibaca

Berita Terkait

Melampaui Bendera dan Kembang Api, Mengartikan Ulang Kemerdekaan Indonesia
Pentingnya Politik Santun dan Berbudaya Jelang Pemilu 2024
Merajut Kembali Tenun Kebangsaan Melalui Pesan Budaya
Wajah Buram Politik Indonesia
Presiden Putin dan Kesejahteraan Kutim (Bagian Pertama)
BELA NEGARA DALAM PEREKONOMIAN
BELA NEGARA, EKONOMI, DAN COVID-19
Mengenal Perasaan Anda Lebih Jauh

Berita Terkait

Kamis, 17 Agustus 2023 - 15:56 WITA

Melampaui Bendera dan Kembang Api, Mengartikan Ulang Kemerdekaan Indonesia

Senin, 3 Juli 2023 - 20:22 WITA

Pentingnya Politik Santun dan Berbudaya Jelang Pemilu 2024

Minggu, 2 Juli 2023 - 21:36 WITA

Merajut Kembali Tenun Kebangsaan Melalui Pesan Budaya

Minggu, 2 Juli 2023 - 20:39 WITA

Wajah Buram Politik Indonesia

Selasa, 6 Desember 2022 - 00:20 WITA

Presiden Putin dan Kesejahteraan Kutim (Bagian Pertama)

Berita Terbaru

Wakil Bupati Kutai Timur, Mahyunadi (MMP)

Politik & Pemerintahan

Pemkab Kutim Evaluasi Perda Pajak dan Retribusi, UMKM Jadi Pertimbangan Utama

Selasa, 24 Jun 2025 - 19:47 WITA