
SANGATTAKU – Pelaksanaan sejumlah proyek infrastruktur oleh Pemerintah Daerah Kutai Timur sedang menuai kontroversi. Dugaan penggunaan galian C ilegal tanpa izin resmi menjadi sorotan masyarakat, menuai kritik dan polemik. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur, Joni, membuka suara terkait persoalan tersebut.

Menurut Joni, pada beberapa kasus, penggunaan galian C ilegal memang terpaksa dilakukan dam memang tidak dapat dihindari demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan infrastruktur yang layak.
“Kami bingung juga dalam menilai hal ini. Namun, selama ini jalan satu-satunya adalah menggunakan galian C tersebut. Jika melihat kebutuhan masyarakat, mau tidak mau kami harus melakukannya,” papar Joni.
“Misal, jalannya dalam kondisi yang sangat parah. Mau tidak mau, kami harus menggunakan galian C terlebih dulu karena tidak mungkin langsung dicor. Harus ada tahapannya, dan galian C menjadi kebutuhan utama. Sayangnya, galian C yang tersedia umumnya tidak memiliki izin,” jelas Ketua DPRD memberikan contoh kasus penggunaan galian C menjadi tahapan yang tidak dapat dihindari, terlepas dari legalitas perizinannya.
Kendati demikian, Joni mengaku bahwa DPRD Kabupaten Kutai Timur telah menyarankan kepada pengusaha galian C untuk mengurus izin ke tingkat provinsi sebagai pemegang kewenangan saat ini. Joni mengungkapkan bahwa Meski sebagian pengusaha mengklaim telah mengurus izin tersebut, Joni mengaku pihaknya belum dapat memastikannya.
“Yang jelas, kami mengingatkan agar mereka mengurus izin demi keamanan usaha mereka,” ungkapnya.
Joni juga menegaskan, DPRD Kabupaten Kutai Timur berkomitmen untuk terus mendorong pengusaha galian C agar mengurus perizinan secara resmi. Selain itu, mereka juga akan mengawasi agar penggunaan galian C ilegal dalam proyek-proyek pemerintah daerah dapat diminimalisir dan dilakukan dengan sangat selektif demi kepentingan masyarakat.
Dalam hal Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor galian C, Joni mengakui jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi galian C yang ada di wilayah Kutai Timur. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengusaha galian C yang mengurus izin, sehingga pemerintah daerah kehilangan potensi penerimaan retribusi dari sektor tersebut.
“Sebenarnya, kami dirugikan karena tidak adanya penerimaan retribusi dari galian C ilegal ini. Seandainya mereka memiliki izin, tentu akan ada penerimaan retribusi,” pungkasnya. (AD01/DPRD)