
SANGATTAKU – “Merdeka atau mati!” seruan heroik itu menderu dalam angin pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Indonesia dengan bangga mengumumkan kemerdekaannya dari cengkeraman penjajah. Kini, ketika kita merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-78, waktunya untuk merenung dan memahami ulang arti sejati dari kemerdekaan yang telah kita perjuangkan dengan begitu gigih.
Kemerdekaan, bukanlah hanya sebatas pencapaian geografis dan politik. Ia adalah kebebasan yang mendasar, hak asasi manusia yang menjadi landasan segala bentuk eksistensi dan kemajuan. Namun, di balik peringatan pesta kemerdekaan yang dihiasi dengan bendera merah putih dan kembang api, sering kali terkubur dalam kerumitan makna sebenarnya.
Kemerdekaan bukanlah sekedar hak untuk tidak dijajah oleh bangsa asing, melainkan hak untuk mengejar potensi diri dalam semua bidang. Ia adalah hak untuk berbicara, berpikir, dan bertindak tanpa rasa takut, tanpa penghambatan yang tidak beralasan. Kemerdekaan adalah panggilan untuk berperan aktif dalam masyarakat, untuk ikut menentukan arah masa depan bangsa.
Namun, seringkali kita melihat bahwa kemerdekaan dipandang terbatas hanya pada tataran politik dan administratif. Harus diakui bahwa upaya pembebasan fisik dari penjajahan adalah langkah awal yang penting, tetapi sejauh mana kita telah mewujudkan makna yang lebih dalam dari kemerdekaan? Apakah kita telah benar-benar merdeka dari kungkungan prasangka, ketidaksetaraan, dan keterbatasan?
Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi, tidak peduli latar belakang sosial, ekonomi, atau etnis. Ini melibatkan tanggung jawab bersama untuk menghapus batas-batas yang memisahkan, dan membangun masyarakat yang inklusif. Ketika kita masih melihat ketidaksetaraan dalam pendidikan, lapangan kerja, dan akses terhadap pelayanan kesehatan, apakah kita benar-benar telah menghormati perjuangan para pahlawan kita?
Kemerdekaan juga harus menghargai hak untuk berbicara dan berpendapat. Sudah selayaknya kita menjadi bangsa yang tidak hanya mendengar, tetapi juga menghormati pandangan yang berbeda. Inilah esensi demokrasi yang seharusnya merembes dalam setiap aspek kehidupan kita. Namun, saat ini, sering kita melihat ketidaktoleranan terhadap perbedaan pendapat, bahkan hingga tindakan kekerasan. Bukankah ini bertentangan dengan semangat kemerdekaan yang mengedepankan dialog dan kerja sama?
Kemerdekaan juga mengharuskan kita untuk melawan belenggu rasa takut. Bukan hanya takut pada otoritas atau penguasa, tetapi takut untuk berubah, takut untuk menghadapi tantangan baru, takut untuk mempertanyakan norma yang tidak lagi relevan. Hanya dengan melepaskan diri dari rasa takut, kita dapat meraih potensi penuh kita dan menciptakan perubahan positif.
Sebagai bangsa yang telah merdeka selama 78 tahun, tantangan yang kita hadapi semakin kompleks. Globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial membawa kita ke dalam arus perubahan yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, arti kemerdekaan juga berkaitan dengan kemampuan kita untuk beradaptasi dan berinovasi, tanpa meninggalkan akar budaya dan nilai-nilai luhur yang menjadi landasan kita.
Saat kita merayakan kemerdekaan, marilah kita memperingati dengan tekad baru: untuk menjalani kemerdekaan dengan benar. Bukan hanya sebagai momen seremonial, tetapi sebagai komitmen untuk merdeka dalam pikiran, perbuatan, dan semangat. Kita harus berusaha menjadi generasi yang meneruskan perjuangan para pendahulu kita, untuk membangun bangsa yang lebih adil, inklusif, dan maju.
Dalam perjalanan ini, mari kita renungkan ulang apa yang pernah dikatakan oleh Bung Karno, “Kita harus merdeka dari segala bentuk penjajahan.” Mari kita merdeka dari penjajahan ketidakadilan, ketidaksetaraan, ketidakpedulian. Mari kita menjadi generasi yang mengartikan kemerdekaan dalam segala tindakan dan pilihan kita. Kita, bersama-sama, dapat mewujudkan potensi sejati bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaya. (*/)
Penulis merupakan Jurnalis Muda yang saat ini menjabat sebagai Bendahara Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia Kabupaten Kutai Timur.
Penulis : Yudhie YAV