SANGATTAKU – Warga Bukit Kayangan, Desa Singa Gembara, Kabupaten Kutai Timur, menyampaikan keluhan terhadap dampak aktivitas pertambangan PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang dinilai mencemari lingkungan serta mengganggu kehidupan sosial mereka. Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar DPRD Kutai Timur bersama perwakilan warga dan sejumlah instansi, Kamis, 19 Juni 2025.
Pendamping hukum masyarakat, Khoirul Arifin, menjelaskan bahwa meski KPC menyatakan Bukit Kayangan tidak akan ditambang, aktivitas perusahaan di sekitar wilayah tersebut tetap menimbulkan gangguan bagi warga.

“Di RT 27 tadi ada yang hanya jaraknya 0 meter, hanya dipagari saja. Tapi dikatakan KPC tadi, itu bukan merupakan areal pertambangan, tapi pembuatan kolam endapan ,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meski disebut hanya kolam endapan, aktivitas tersebut tetap menimbulkan dampak signifikan.
“Walaupun itu hanya pembuatan kolam, tentu itu sudah berdampak kepada masyarakat sana, terutama terkait dengan debu, kebisingan, kemudian kerawanan lalu lintas dan sebagainya,” sambung Khoirul.
Selain gangguan lingkungan, kebutuhan dasar warga seperti air bersih dan listrik hingga kini belum terpenuhi. Menurutnya, dugaan pencemaran di hulu sungai turut memperparah krisis air bersih.
“Sehingga seyogyanya memang harusnya direlokasi. Tetapi mungkin ada pertimbangan lain dari PT KPC bahwa masyarakat sana tidak perlu direlokasi. Ya, kalau gitu ayo kita berdampingan yang baik. Penuhi hak-hak dasar kami,” tegasnya.
Khoirul juga mengungkapkan bahwa dua tahun lalu warga sempat diberitahu akan direlokasi karena wilayah tersebut masuk dalam rencana pertambangan. Namun kini, kata dia, kebijakan berubah dan warga dibiarkan tinggal di wilayah yang dinilainya sudah tidak layak huni.

Menanggapi hal itu, Manajer Community Empowerment KPC, Nanang Supriyadi, menjelaskan bahwa meski Bukit Kayangan termasuk dalam wilayah konsesi atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), lokasi tersebut tidak masuk dalam areal tambang aktif.
“Jadi gini, titik terluar dari tambang itu adalah pond, ya. Nah, yang kita diskusikan yang katanya dekat dengan sana itu kan pond. Jadi tambangnya ada di hulunya, pond itu menjadi ujungnya. Sementara masyarakat itu adanya di hilirnya pond. Jadi dia tidak mungkin akan masuk kena tambang,” jelas Nanang.
Untuk itu, KPC telah menyampaikan surat resmi kepada PLN dan PDAM, agar layanan dasar dapat segera masuk ke wilayah Bukit Kayangan.
“Wilayah tersebut memang bagian dari UPK (Unit Pelaksana Kegiatan), tapi tidak terdampak langsung oleh tambang maupun fasilitas penunjangnya. Jadi PLN dan PDAM bisa masuk untuk memenuhi kebutuhan warga,” ujarnya.
Nanang juga menyatakan bahwa hasil pengukuran kebisingan di lokasi tersebut masih berada di bawah ambang batas yang ditentukan.
“Jadi pengukuran itu tidak dilakukan sesaat, tapi selama 24 jam. Hasil menunjukkan sekitar 52 hingga 53 desibel, sementara ambang batasnya 55. Jadi masih aman,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pembangunan kolam endapan ditargetkan selesai pada Oktober 2025.

Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD Kutai Timur, Ardiansyah, menyatakan pihaknya memahami keresahan masyarakat dan akan mendorong langkah konkret dari pemerintah daerah dan pihak perusahaan.
“Kami minggu depan turun ke lapangan dulu memastikan di lokasi. Kalau memang kondisi seperti itu, nanti kami minta pada pemerintah agar segera memanggil PT KPC,” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa jika kebisingan terbukti mengganggu, maka opsi relokasi harus menjadi pertimbangan serius. DPRD Kutai Timur turut menyoroti belum adanya alat pemantau kualitas udara di wilayah tersebut.
“Insyaallah kita akan usahakan itu dalam waktu dekat. Kami minta waktu tadi paling lama satu bulan. Setelah ini sudah ada keputusan,” pungkas Ardiansyah. (MMP)