Ketika Cahaya Kemakmuran Tak Pernah Sampai
SANGATTAKU – Malam hari di Dusun 8 Bukit Kayangan bukan lagi milik kesunyian. Dengung mesin-mesin raksasa menggema dari operasi tambang yang hanya terpisah sekitar 60 meter dari rumah-rumah penduduk. Di kejauhan, lampu-lampu gedung pemerintahan Bukit Pelangi bersinar terang, mengingatkan betapa dekatnya mereka dengan pusat kekuasaan Kabupaten Kutai Timur. Namun, di dalam rumah-rumah sederhana itu, gelap gulita masih menjadi teman setia, setidaknya sejak delapan tahun terakhir.

Ironi Bukit Kayangan bukan sekadar kisah tentang listrik yang tak kunjung menyala. Ini adalah potret tajam ketimpangan dalam negeri yang dikaruniai kekayaan bawah tanah berlimpah. Sementara batubara hitam mengalir deras keluar dari perut bumi Kalimantan Timur, puluhan kepala keluarga di desa ini hidup tanpa akses listrik dan air bersih, sebuah kemewahan yang seharusnya mudah dicapai di era modern.
“Tiang listrik sudah berdiri sejak delapan tahun lalu, tapi aliran listriknya tak kunjung datang,” ujar Hadi, Ketua RT 28 yang rumahnya berdiri kokoh di tepian aktivitas tambang.
Tiang-tiang listrik itu kini berdiri seperti monumen kesia-siaan, pengingat pahit tentang janji-janji yang menguap begitu saja. Hadi, yang telah menjadi saksi perubahan kawasan sejak 2003, melihat bagaimana lingkungannya perlahan berubah wajah. Yang dulu hijau dan asri, kini berdebu dan bergemuruh.
Debu dan Dengung, Soundtrack Kehidupan Modern
Siang hari membawa terik dan debu yang menyelimuti setiap sudut pemukiman. Malam hari dipenuhi suara mesin yang tak kenal lelah. Inilah realitas baru yang harus diterima warga Bukit Kayangan sejak aktivitas tambang semakin mendekat dalam setahun terakhir.
“Bising kalau malam, debu kalau siang, dan air sungai yang dulu jadi sumber utama sekarang keruh terus seperti susu,” ungkap Hadi dengan nada yang tak mampu menyembunyikan kekecewaan.
Sungai yang dulu jernih dan menjadi nadi kehidupan kini berubah menjadi aliran keruh yang mengingatkan pada susu basi. Air yang dulu dapat diminum kini berbahaya bahkan untuk sekedar mandi. Perubahan ini terjadi begitu cepat, seolah alam dipaksa berubah dalam hitungan musim.

Kondisi lingkungan yang memburuk membawa dampak langsung pada kesehatan warga. Keluhan kulit gatal-gatal menjadi cerita sehari-hari di kampung ini.
“Selangkangan penuh gatal. Banyak yang ngalamin. Saya sendiri baru sembuh,” kata seorang warga sambil menunjukkan bekas luka di tubuhnya, bukti fisik dari dugaan pencemaran yang melanda kehidupan mereka.
Testimoni ini bukan hanya keluhan individual, melainkan refleksi dari krisis kesehatan komunal yang sedang terjadi. Kulit yang gatal dan luka-luka menjadi tanda tanya besar tentang kualitas lingkungan yang mereka huni setiap hari.
Tanah Yang Tak Lagi Subur Ramah
Hadi melihat langsung bagaimana dampak pencemaran merambah ke sendi-sendi ekonomi keluarga. Tanaman yang dulu menjadi sumber penghidupan kini layu sebelum berbuah. Peternakan yang menjadi tumpuan ekonomi warga menghadapi ancaman serius.
“Lombok dan tomat kami rusak karena debu. Peternakan juga susah karena sumber air tidak layak. Kalau cuma janji dan tiang listrik, kami sudah kenyang. Sekarang kami ingin bukti,” tegas Hadi.
Kalimat terakhir Hadi mengandung frustasi yang mendalam. “Sudah kenyang” dengan janji-janji kosong, mereka kini menuntut aksi nyata. Lombok dan tomat yang rusak bukan hanya soal kerugian finansial, tetapi juga simbol hancurnya mata pencaharian tradisional akibat modernisasi yang tak terkendali.
Debu tambang tidak pandang bulu. Ia menempel pada setiap daun, menutup pori-pori tanaman, dan perlahan membunuh kehidupan. Ternak yang dulu sehat kini kesulitan mencari sumber air bersih. Ekonomi rural yang bergantung pada alam menjadi korban pertama dari ekspansi industri.
Limbo, Hidup Dalam Ketidakpastian
Yuli Mutiawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadi corong aspirasi warga, mengungkapkan beban psikologis yang tak kalah berat dari masalah fisik. Ketidakpastian status lahan membuat hidup mereka seolah tergantung pada benang tipis.
“Kalau memang kena tambang, kami minta diganti untung. Jangan digantung terus. Kadang dibilang kena, kadang enggak. Warga bingung,” keluhnya.
Kebingungan Yuli mencerminkan kondisi warga yang hidup dalam limbo (tepi/ batas), tidak tahu apakah mereka akan tetap tinggal atau harus pindah. Informasi yang simpang siur membuat mereka tidak bisa merencanakan masa depan dengan pasti. Hari ini mereka dibilang akan direlokasi, besok kabar itu dibantah. Ketidakpastian ini menciptakan stres berkepanjangan yang melelahkan jiwa.
“Kami ini warga negara juga. Tinggal dekat pusat pemerintahan, tapi hidup seperti di pinggiran tak berpenghuni,” ungkap Yuli dengan nada protes yang tertahan.
Ironi yang disampaikan Yuli sangat menohok, bagaimana mungkin warga yang tinggal dekat pusat kekuasaan justru hidup seperti di ujung dunia? Mereka adalah warga negara yang membayar pajak, namun diperlakukan seolah tidak terlihat oleh sistem.
Jalan Hukum Sebagai Harapan Terakhir
Frustrasi yang mengendap bertahun-tahun akhirnya mendorong 65 warga untuk mengambil langkah hukum. Mereka menunjuk Kantor Hukum Khoirul Arifin, S.H., M.H. & Rekan sebagai wakil mereka dalam memperjuangkan hak-hak dasar yang selama ini terabaikan.
“Kami akan perjuangkan hak-hak warga, apakah berupa ganti rugi, relokasi, atau pemenuhan hak dasar. Kalau tidak direspons, kami siapkan gugatan class action (mewakili banyak pihak, ganti rugi atau tindakan korektif),” tegas Khoirul Arifin.

Ancaman gugatan class action bukanlah gertakan kosong. Ini adalah pilihan terakhir dari sebuah komunitas yang telah lelah menunggu. Khoirul dan timnya memahami bahwa mereka sedang berhadapan dengan raksasa industri yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar.
Albert, salah satu advokat dalam tim tersebut, memberikan perspektif yang lebih tegas tentang situasi ini.
“Kalau memang mau ditambang, relokasi dengan harga pantas. Kalau tidak ditambang, penuhi hak dasar mereka. Ini wilayah padat, tapi dibiarkan seperti daerah terisolasi,” katanya.
Albert menekankan absurditas situasi, bagaimana sebuah wilayah yang padat penduduk bisa dibiarkan tanpa infrastruktur dasar? Menurutnya, aktivitas tambang sedekat itu dengan pemukiman seharusnya tidak diperbolehkan tanpa kajian risiko dan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang komprehensif.
Tim hukum ini tidak main-main. Mereka telah melayangkan laporan resmi kepada berbagai instansi, mulai dari Bupati Kutai Timur, DPRD, Ombudsman, hingga Komnas HAM. Jejak komunikasi formal ini membuktikan bahwa mereka telah mengikuti semua prosedur yang ada sebelum mengajukan gugatan.
Pengakuan Atas Situasi yang “Ambigu”
Tekanan dari warga dan media akhirnya mendapat respons dari pejabat daerah. Wakil Ketua I DPRD Kutai Timur, Sayyid Anjas, mengonfirmasi bahwa proses pembebasan lahan memang telah mencapai sekitar 70 persen.
“Itulah yang membuat PLN yang tadi 2 tahun sebelumnya sudah pasang tiang, tidak jadi diteruskan untuk aliran kabel dan powernya,” jelasnya.

Konfirmasi Anjas mengungkap alasan konkret di balik tiang-tiang listrik yang tak berfungsi. PLN menghentikan proses instalasi karena ketidakjelasan status lahan yang akan dibebaskan. Ironisnya, warga justru menjadi korban dari ketidakpastian ini.
“Masyarakat di sana ternyata mau saja dibebaskan. Cuma ada beberapa yang cocok harga, ada yang belum cocok harga,” tambah Anjas.
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa sebagian besar warga sebenarnya bersedia untuk pindah. Masalahnya bukan penolakan terhadap pembebasan lahan, melainkan negosiasi harga yang belum mencapai titik temu.
Wakil Bupati Kutai Timur, Mahyunadi, mengakui situasi “ambigu” di Bukit Kayangan karena lokasinya yang bersinggungan langsung dengan area konsesi tambang.
“Saya sudah WA kepada KPC tentang berita itu. Jadi KPC juga akan melihat. Tapi saya juga akan turun ke situ,” ujarnya.
Respons Mahyunadi menunjukkan bahwa pemerintah daerah akhirnya mulai merespons dengan serius. Komunikasi langsung dengan perusahaan tambang dan janji untuk turun langsung ke lokasi adalah tanda-tanda positif, meski terlambat.
“Kalau enggak jauh-jauh dari tambang ya sudah dia bebaskan aja lah sudah semua, ambil aja semua itu. Supaya masyarakat yang tadi katanya enggak bisa tidur tuh… Sudah bayar-bayar aja lah semuanya,” tutur Mahyunadi.
Usulan Mahyunadi untuk membebaskan seluruh lahan pemukiman menunjukkan pengakuan bahwa koeksistansi antara pemukiman dan tambang sangat sulit diwujudkan. Jarak yang terlalu dekat memang menyebabkan gangguan yang tidak bisa dihindari.
Birokrasi dan Tanggung Jawab yang Tumpang Tindih
Ironi kembali datang dari Plt Kadis LH Kutim Dewi yang dalam konfirmasinya mengaku belum mengetahui secara detail dugaan pencemaran lingkungan di Bukit Kayangan. Ia menyampaikan bahwa terkait masalah pertambangan, kewenangannya berada di pusat.
“Harus ada pelaporan dulu, biar kami bisa masuk untuk melakukan verifikasi lapangan. Karena kami baru bisa masuk jika ada pengaduan dari masyarakat,” ungkapnya.
Pernyataan Dewi mencerminkan kompleksitas birokrasi yang sering menjadi hambatan dalam penyelesaian masalah. Warga yang sudah menderita masih harus mengikuti prosedur panjang untuk mendapatkan respons dari pemerintah.
Refleksi atas Paradoks Pembangunan
Kisah Bukit Kayangan adalah cermin retak dari model pembangunan Indonesia yang masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Paradoks ini terlihat jelas, di tengah gemerlap kantor pemerintahan yang dibiayai dari royalti tambang, ada komunitas yang hidup tanpa listrik dan air bersih.
Kutai Timur, yang dikenal sebagai salah satu kabupaten terkaya di Indonesia berkat industri tambang batubara, seharusnya mampu memberikan kehidupan yang layak bagi seluruh warganya. Namun kenyataan berkata lain. Kekayaan yang mengalir dari perut bumi seolah tidak pernah sampai di rumah-rumah sederhana yang berada tepat di sampingnya.
Ini bukan cerita tentang anti-pembangunan atau menentang industri tambang. Ini adalah pertanyaan mendasar tentang keadilan distributif, bagaimana memastikan bahwa kemakmuran dari kekayaan alam dapat dinikmati bersama, bukan hanya oleh segelintir pihak?
Mencari Solusi yang Berkeadilan
Permasalahan di Bukit Kayangan menuntut pendekatan yang lebih komprehensif dari semua pihak. Perusahaan tambang tidak bisa hanya fokus pada produksi dan keuntungan sambil mengabaikan dampak sosial dan lingkungan. Corporate Social Responsibility harus menjadi bagian integral dari operasi, bukan sekadar kegiatan sampingan.
Pemerintah juga perlu lebih proaktif dalam memastikan bahwa manfaat dari eksploitasi sumber daya alam dapat dirasakan oleh masyarakat lokal. Regulasi yang ada perlu diperkuat dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat dan sanksi yang tegas bagi pelanggaran.
Yang paling penting adalah transparansi dan komunikasi yang efektif antara semua pihak. Warga tidak menginginkan bantuan charity, mereka hanya ingin diperlakukan sebagai warga negara yang memiliki hak dasar atas kehidupan yang layak.
Harapan di Tengah Kegelapan
Meski hidup dalam kegelapan literal, warga Bukit Kayangan tidak kehilangan harapan. Perjuangan hukum yang mereka tempuh adalah bukti bahwa mereka tidak akan menyerah begitu saja. Mereka percaya bahwa keadilan akan datang, meski harus melalui jalan yang panjang dan berliku.

Dengan tekad yang kuat dan dukungan hukum yang solid, mereka terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Perjuangan mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menetapkan preseden penting bagi komunitas-komunitas serupa di seluruh Indonesia.
Kisah Bukit Kayangan mengajarkan bahwa pembangunan yang sejati tidak boleh mengorbankan kemanusiaan. Kemakmuran yang dibangun di atas penderitaan masyarakat lokal bukanlah kemakmuran yang berkelanjutan. Saatnya bagi semua pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi yang adil.
Di balik tiang-tiang listrik yang berdiri tanpa nyawa, di antara debu yang menari di udara, dan di tengah gemuruh mesin tambang yang tak henti, warga Bukit Kayangan terus berharap. Mereka berharap bahwa suatu hari nanti, tiga kilometer jarak dari pusat kemakmuran tidak lagi berarti hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian.
Cahaya yang mereka tunggu bukan hanya aliran listrik yang akan menerangi rumah-rumah mereka. Mereka menunggu cahaya keadilan yang akan menerangi masa depan yang lebih baik, di mana manusia dan alam dapat hidup berdampingan secara harmonis, dan kemakmuran dapat dinikmati oleh semua. (/Yudhie Yuhdillah Alfurqoni Valentino)